Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.
Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadu tanzhimi (penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.
Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al-imtidad at-tarbawi (pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik
kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan
pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita
kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk
ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau
akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang
menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah
kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj
tarbiyah pun harus meningkat.
Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan
mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan
mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan
lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.
Untuk menjaga kapasitas, daya dan
bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi
ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus
membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih
menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan
talqinul ulum.
Lapisan pendukung dan simpatisan
dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan
majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka
itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena
tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk
membangun potensi SDMnya.
Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:
- Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah
(memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di
mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
- Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
- Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah.
Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara
fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya
ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang
kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di
bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.
Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqofy. Kita
harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan
membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat
kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua
penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala
sector.
Kita bergaul dengan mereka yang
beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology,
pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap,
kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus
ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal,
silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi
yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.
Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.
Jama’ah kita ini, di mana pun,
terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan
meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.
Imtidad fanni, penguasaan
teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja
tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih
mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.
Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi
kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan
karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi
karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus
membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan
lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang
birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak.
Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar
gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.
Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan
ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam
bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan
agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan
dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para
penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik,
terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.
Karakter organisasi lain, yang
terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi
kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan
merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting
adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi
dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang
yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu
semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.
Selanjutnya al-imtidad al-iqtishodiy (perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang
luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan
dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin
professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara,
karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang
menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah
yang tidak tertangani secara konvensional.
Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua
sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi
Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat
seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya,
“Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata
Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.
Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya
langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan
rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan
Allah dengan kerja keras.
Sudah tentu ini untuk para ikhwan
dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai
bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak,
dakwah rusak.
Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.
Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses
ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh
suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu
ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas,
tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi
masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada
saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani
sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita
tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus
mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang
ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau
kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.
Perkembangan ekonomi ini, baik
kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya
komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu
berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh
ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah.
Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun
Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus
seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.
Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran
kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah,
agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman
atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan
hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap
dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika
menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan
kebiasaan Rasulullah SAW.
Salah satunya, ternyata Rasulullah
SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang
Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar
roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau
diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak
ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi
itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.
Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar
menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar.
Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu
Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani
Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih
halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi
lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.
Walaupun entitas non muslim
minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social.
Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan,
beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya
usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang
ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu,
lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak
perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli
dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan
partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau
menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara
kita seiman.
Alaqoh ijtima’i diperluas.
Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen
masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada
resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.
Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.
Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar
tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan
kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat
melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita
dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan
selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.
Berikutnya. Imtidad siyasi. Ruang
lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi
politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari
kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu
bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak
perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin
keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi
komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai
posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita
terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah
dan memperbesar dakwah.
Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.
Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada
yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada
yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut
izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.
Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?
Kalau kita mengumumkan hal-hal yang
terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu
baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita
kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti,
membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus
ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah
kita, pertumbuhan dakwah kita.
Faktor-faktor tadi secara simultan
bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan
hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya
mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.
Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.
Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai pada li i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.
imtidad-ad-dawah